Pengantar
Fenomena menarik dalam pergaulan dunia di akhir abad ke-20 ialah pencarian fungsi batas-batas fisik negara sebagai pengemban tradisi dan peradaban bangsa. Penggunaan jasa teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang terus meluas mendorong interaksi budaya antar bangsa yang semakin tinggi. Pada saat yang sama, nasionalisme sebagai ideologi bangsa mengalami erosi fungsional.
Kemandirian tradisi adalah kekuatan utama bangsa berkembang saat bangsa besar atas nama HAM, demokrasi, dan iptek melakukan hegemoni bagi kepentingan ekonomi-politiknya seperti kolonialisme di masa lalu. Penundukan atas bangsa lain tidak lagi mengandalkan kekuatan militer, tetapi nilai-nilai budaya yang lebih mematikan. Di sini pula isu terorisme bermakna ganda yang bisa dipakai negara-negara besar melakukan hegemoni atas bangsa lain.
Bangsa yang lemah secara militer dan miskin, kekuatannya ada pada tradisi, kemandirian dan solidaritas di atas basis nasionalisme. Tanpa Ideologi yang mampu menyatukan wawasan kebatinan warga, otonomi daerah dan demokrasi bisa memperlemah NKRI. Ini penting dalam merespon gejala global secara cerdas, arif dan manusiawi
ISI LENGKAP dapat dibaca di
http://www.mabesad.mil.id/artikel/
...artikel2/310505kemandirian_bangsa.htm
Penutup
Kesadaran spritual di atas penting dikembangkan sebagai basis "nasionalisme baru" berbeda dengan konsep kewilayahan di berbagai belahan dunia dan bangsa lain. Soalnya ialah bagaimana kesadaran itu berfungsi di tengah mobilitas sosial dan kesadaran rasional dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kesadaran kenusantaraan yang primordial tersebut nampak semakin pudar dalam lapis sosial lebih tinggi dan masyarakat yang semakin meng-kota.
Karena itu perlu dikembangkan model kesadaran primordial atas nasionalisme dan kenusantaraan. Agama bisa dijadikan media bagi tujuan-tujuan nasional jika bisa diorientasikan pada dimensi ruhaniah spritual daripada legal-formal kelembagaan. Disini, etika keagamaan bisa dijadikan bahan dasar penumbuhan model "keagamaan lokal" yang berbeda dari praktek keagamaan universal di berbagai bangsa.
Dalam hubungan itu penting pengembangan keagamaan sebagai promosi kemanusiaan yang memungkinkan pluralitas sosial-budaya sebagai akar dari nasionalisme dan kemandirian kebangsaan. Disini terletak fungsi otonomi daerah sebagai jangkar kemandirian bangsa dan nasionalisme, bukan sekedar dalih perebutan kekuatan politik elite lokal. Tanpa spritualitas kebangsaan yang kukuh, bangsa yang beragam suku dan kepulauan ini sangat rentan menghadapi berbagai isu global yang tak seluruhnya sesuai tradisi kebangsaan. Akhirnya tergantung bagaimana kita membangun kesadaran kolektif berdasar tradisinya sendiri berdialog secara cerdas dengan berbagai kekuatan dunia atau tanpa disadari kita menjadi boneka bangsa-bangsa besar.
2). Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Spritualitas Kenusantaraan, disusun dan disampaikan dalam Workshop "Mengkaji ulang Wawawasan Nusantara : Sebuah Tinjauan Histori dan Budaya" Spritualisme Dalam Wawasan Nusantara" diselenggarakan oleh Institute of Publik Policy and Economics Study (INSPECT) DI Hotel Radison Yogyakarta, Sabtu 29 April 2000.
No comments:
Post a Comment