Asslm.Wr.Wb.
Penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, 1 Dzulhijah dan 9 Dzulhijah Hari Arafah selalu menjadi perbedaan antara Negara Saudi Arabia, Ormas Muhammadiyah dan Ormas Nahdatul Ulama.
Perkembangan teknologi memungkinkan, perkembangan di Mekah dan Madinah dipantau secara online melalui Video Online dan CCTV online.
Muhamaddiyah berdasarkan metoda perhitungan berdasarkan geometri lintasan orbit.
Nahdatul Utama berdasarkan metoda rukyat, melihat hilal secara langsung.
MUI merekomendasikan bahwa perbedaan menjadi rahmat tidak perlu dipertentangan.
Perbedaan waktu penentuan hilal, terbatas pada penglihatan perukyat
Indonesia sebagai negara maritim terkendala cuaca mendung saat pemantauan hilal.
Kini ada teknologi yang dapat membantu penentuan hilal melalui mata telanjang. Teleskop Awal memanfaatkan input pancaran sinar inframerah dari bulan yang ditangkap sensor ditambah dengan input citra hilal melalui teleskop, melalui pengolahan citra dapat dibedakan pantulan inframerah dari bulan dan dieliminasi dari pancaran surya senja. Pengamatan menggunakan gelombang inframerah dapat dilakukan karena bagian gelap dari hilal sesungguhnya juga memantulkan cahaya inframerah yang tidak tampak oleh mata telanjang. Cahaya itu dapat dilihat dan direkam oleh instrumen inframerah.
Teleskop ini dikenal dengan teleskop Rukyat Versi 1.0, 1995.
Pakar optik sekaligus peneliti senior Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi (Puslit KIM) LIPI ,Profesor Farid Ruskanda menyatakan, teknologi radar dirancang guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim untuk menentukan tanggal awal bulan, seperti Ramadhan atau Syawal secara tepat dan menghindari perbedaan pendapat yang selama ini ada.
’’Kami masih menunggu konfirmasi dari pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk segera memulai membuat radar teleskop rukyat versi 2.0, yang jauh lebih sempurna dengan versi 1.0-nya
’’Ini merupakan radar dengan spesifikasi tertentu yang kali pertama dibuat di dunia. Rukyat di negara-negara lain hanya menggunakan teleskop.Bahkan,kebanyakan ahli astronomi melakukan rukyat setelah senja karena menghindari silau matahari di ufuk barat. Sementara itu, radar ini bisa melakukan rukyat saat magrib meskipun langit masih berwarna kemerahan,” paparnya.
Farid meneliti radar rukyat ini dibantu oleh dua tim peneliti LIPI, yakni tim yang bertugas merancang radar dan teropong optik. Komponen penelitian yaitu radar, teropong,dan peralatan komputer. Konsep dari radar ini bekerja dengan sistem perabaan (deteksi) gelombang radar yang diterima satelit dengan kemampuan 400.000 kilometer (km) atau hampir 1 juta km bolak-balik.
Kemudian, hasil deteksi radar khusus ini diolah melalui optik atau teropong menjadi bentuk visual yang bisa dilihat. Dari hasil visual itulah kemudian bisa disebarluaskan melalui satelit TV hingga masyarakat bisa ikut bersama-sama melihat hilal. Radar maupun teropong tersebut merupakan hasil rancangan tim peneliti LIPI.
’’Inspirasi dari teknologi radar ini seperti yang selama ini digunakan radio amatir, yang memantulkan gelombang radio ke bulan,” paparnya.
Dia menambahkan,dengan teknologi ini,radar tersebut bisa digunakan untuk merukyat dan disebarluaskan secara massal. Terutama, melihat hilal guna penentuan awal Ramadan, Syawal (Idul Fitri), Dzulhijjah (Idul Adha), dan 1 Muharram yang merupakan awal tahun baru penanggalan Islam.
Menurut dia, dengan bantuan radar ini, perbedaan pendapat waktu Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang selama ini terjadi bisa terjembatani. Dia mencatat peluang terjadinya perbedaan pendapat lima dari tujuh kasus (71%) berakhir dengan kontroversi dan perbedaan.
Selama ini, upaya konvensional yang taktis secara teknis itu, ternyata belum pernah bisa menyelesaikan permasalahan secara signifikan. Itu dibuktikan dengan silaturahmi PP Muhammadiyah ke PB Nahdlatul Ulama (NU) dengan moderasi Menteri Agama yang tak menghasilkan kemajuan berarti.
’’Diperlukan sebuah langkah islah yang strategis untuk menyelesaikan permasalahan. Jika terobosan teknologi telah berhasil kami lakukan, selanjutnya harus dibantu dengan terobosan syariah guna menjembatani perbedaan yang ada,”paparnya.
Selain itu, wilayah Indonesia yang terdiri atas 20.000 kepulauan dan terletak di daerah tropis mengakibatkan cuaca hampir 90% mendung. Karena itu, peluang untuk merukyat hanya sekitar 10% untuk posisi yang baik dari hilal.Kriteria 2 derajat berasal dari data pengamatan yang menyatakan hilal terendah yang berhasil diamati ketinggiannya 2 derajat.
Wallahu Alam B.
Wass.Wr.Wb.
Sumber:
Penginderaan Jauh; Ketika Bulan Tampak Lebih Jelas
Radar Teleskop Versi 2.0- Melihat Rukyat dalam Cuaca Buruk
Radar Teleskop Versi 2.0- Melihat Rukyat dalam Cuaca Buruk
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/radar-teleskop-versi-2.0-melihat-rukyat-dalam-cuaca.html
No comments:
Post a Comment